Eksplorasi.id – Wacana mereformulasi harga minyak mentah nasional (Indonesia Crude Price/ ICP) untuk bisa mendekati harga minyak jenis Brent dan WTI menuai beragam komentar. Adanya reformulasi ICP pertama kali dilontarkan oleh Dirjen Migas Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja.
Menurut Wiratmaja, Kementerian ESDM akan menambahkan referensi Brent dan WTI di dalam formulasi ICP dari referensi sebelumnya yang hanya berisikan RIM dan Platts dengan proporsi masing-masing 50 persen. Rencananya, formulasi ini akan dilakukan pada bulan depan, dan bisa memberikan harga yang baik bagi minyak Indonesia.
Bahkan, Wakil Kepala SKK Migas Zikrullah ikut mengomentari hal tersebut. Dia berkomentar, formulasi ICP yang baru akan membuat harga minyak Indonesia mendekati harga Brent dan WTI, di mana selisihnya saat ini jauh dibandingkan ICP.
Baca juga: http://eksplorasi.id/skk-migas-reformulasi-icp-berpotensi-dongkrak-pnbp/
Namun, pernyaaan berbeda dilontarkan Direktur Eksekutif Center of Energi Resecources Indonesia (CERI) Yusri Usman. Dia berpendapat, jika ICP menggunakan formulasi baru dan harganya kemudian dinaikkan mendekati Brent, maka kilang PT Pertamina (Persero) harus membayar lebih mahal.
“Perlu diingat, Pertamina membeli crude produk dalam negeri dengan harga ICP. Kalau ICP naik, maka harga jual produknya (BBM) juga menjadi lebih mahal dan terkesan kilangnya makin tidak efisien. Jadi pada saat harga crude tinggi, ICP yang rendah membantu membuat harga produk BBM-nya juga rendah, sehingga subsidi dapat dikurangi. Kini saat harga crude rendah, subsidi juga berkurang. Kalau ICP dinaikkan maka subsidi juga akan naik,” kata Yusri kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Selasa (21/6).
Dia menambahkan, kalau ICP tinggi maka kemungkinan Pertamina akan memilih impor crude yang lebih murah daripada membeli minyak produksi dalam negeri. Yusri mengingatkan pasti akan ada pihak-pihak yang diuntungkan dengan mendorong ICP untuk dinaikkan.
“Jadi harus dilihat, siapa yang diuntungkn jika ICP naik? Memang benar, jika ICP mendekati Brent maka volume crude yang dipakai ‘membayar’ cost recovery juga berkurang, jadi seolah PNBP naik. Tetapi impor akan meningkat, dan minyak yang tidak terambil oleh kilang domestik kemudian harus dilego di pasar spot, yang harganya bisa di bawah Brent. Sepertinya ada yang ‘nitip’ agar ICP-nya bisa naik, jadi bisa impor minyak lebih banyak,” ungkap Yusri.
Eksplorasi | Ponco